Waktu Yang Berharga


Jam sudah menunjukkan pukul enam tigapuluh pagi, matahari sudah menampakan sinarnya. Burung-burung berkicau menambah suasana asri di pagi hari. Namun seorang gadis berusia dua puluh satu tahun yang bernama Qomariah masih tenang tertidur di ranjangnya. Qomariyah adalah mahasiswi pendidikan bahasa inggris semester enam yang seharusnya ada kelas pagi pukul tujuh nanti, tetapi sampai sekarang dia masih saja asyik bergelut dengan mimpinya.

"Tok! tok! tok!" suara ketukan pintu terdengar begitu nyaring tetapi sang pemilik kamar justru semakin menarik selimutnya.

"Ah, ada apa sih pagi-pagi berisik saja," gumam Ria yang masih menutup matanya.

"Ria bangun! Ria! kamu bukannya ada kuliah pagi?" tanya pria paruh baya sambil menggedor-gedor pintu kamar putrinya tersebut.

Pria paruh baya tersebut bernama Yanto. Dia adalah duda anak dua berusia empat puluh tujuh tahun, yang masih betah sendiri sejak ditinggal istrinya dia tahun yang lalu karena penyakit diabetes. 

"Ria, kamu itu jadi anak perempuan jangan dibiasakan selalu bangun siang. Kalau kamu malas-malasan seperti ini, bagaimana saat Ayah tidak ada nanti?" ucap Yanto yang masih setia berdiri di depan pintu kamar putrinya.

Padahal putrinya itu sudah dewasa, jika menikah juga seharusnya sudah punya anak. Tapi sifatnya masih saja manja dan belum malas-malasan.

"Drrrttt... drrrtt...." bunyi getaran ponsel menandakan ada panggilan masuk dari seseorang.

"Ra! hari ini kamu gak hadir matkul pertama? ini sudah mau jam tujuh loh," teriak seorang perempuan yang menelepon Ria.

Karena teriakan perempuan yang tak lain adalah sahabatnya tersebut. Ria bergegas bangun dan melihat jam dinding di kamarnya.

"Asyeem, bisa-bisanya telat begini. Mana ini pelajaran Pak Fahmi lagi. Dia kan dosen yang killer-nya minta ampun. Walaupun ganteng sih," ucap Ria diakhiri tawa kecil di akhirnya.

"Ra! kamu dengerin aku gak?" tanya perempuan tersebut, khawatir jika ternyata dia berbicara sendiri.

"Iya Lin, aku mau izin aja gak masuk matkul pertama. Nanti aku izin ada acara keluarga," jawab Ria dengan santai.

"Yasudah buruan siap-siap, aku tunggu di kampus matkul ke dua," ucap perempuan bernama Erlin tersebut.

Erlin adalah sahabat dekat Ria, dia adalah salah satu orang yang menggembleng Ria menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Seperti tadi, setiap pagi Erlin selalu menelepon Ria untuk memastikan bahwa sahabatnya itu datang ke kampus.

"Bangun juga ternyata kamu," sindir Yanto kepada putrinya yang masih memakai piyama dengan rambut yang masih acak-acakan.

"Apaan sih Yah, kayak gak tahu aku aja," jawab Ria cengengesan.

Ria mengambil segelas air dan duduk di meja makan, tanpa memperhatikan dan menyapa sang adik yang juga duduk di sana.

"Robi, makan yang tenang Nak. Jangan berantakan seperti itu," nasehat Yanto yang sudah mengetahui sifat putranya.

Setiap hari Yanto harus bersabar membersihkan makanan yang berserakan karena ulah putranya yang menderita penyakit autis tersebut. Awalnya Yanto putus asa atas cobaan yang telah diberikan sang pencipta. Terlebih lagi ia seakan kehilangan tujuan hidup setelah sepeninggalan sang istri tercinta. Dari kecil, Ria tidak menyukai Robi. Bagi Ria, Robi hanyalah aib keluarga, hanya beban yang membuat susah saja.

"Ria kamu habiskan makanan dan cepat berangkat ke kampus, kamu jangan sering bolos dan jangan selalu membuat alasan. Kamu juga harus belajar hidup mandiri jangan terus bergantung kepada Ayah, usia tidak ada yang tahu. Dan kamu juga harus sering bantu Ayah mengurus peternakan." 

"Gak mau Yah, peternakan itu bau. Masa orang secantik bidadari gini kok mainnya di kandang sapi," ucap Ria sambil mengibaskan rambutnya.

"Apa orang cantik gak butuh makan? memang kamu kenyang dengan kecantikanmu itu?" 

"Kan sudah ada karyawan di sana Yah," rengek Ria mencoba merayu Ayahnya.

"Justru karena ada karyawan makanya kamu harus belajar, belajar dari mereka. Saat Ayah nanti sudah gak ada, kamu dan Robi yang mewarisi peternakan itu."

"Ayo Robi, kita berangkat sekolah. Nanti kamu terlambat," ucap Yanto kepada putranya yang berusia sebelas tahun tersebut.

Robi masih duduk di bangku kelas lima SLB yang tak jauh dari rumah mereka. Setiap hari Yanto akan mengantarkan dan menjemput Robi sekolah. Dia termasuk anak yang cerdas hanya saja sering tiba-tiba marah dan melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri bahkan orang lain. 

Setelah kepergian Yanto untuk mengantarkan Robi sekolah, Ria segera mandi dan bersiap berangkat ke kampus. Ria mengendarai mobilnya melaju dengan kencang agar tidak terlambat untuk mengikuti mata kuliah jam ke dua. 

***

Sesampainya di kampus, Ria segera memarkirkan mobilnya dan bergegas menuju kelas.

"Ke mana saja sih kamu? tadi kayaknya Pak Fahmi gak percaya deh sama izinmu," ucap Erlin saat Ria menaruh tasnya di bangku.

"Ah, biarin. Lagipula aku males ketemu sama tuh dosen, sok kegantengan banget deh."

"Kamu jangan begitu, bagaimanapun beliau yang telah memberi kita ilmu. Beliau juga layak untuk dihormati," tegur Erlin kepada sahabatnya yang keterlaluan.

***

Sepulang kuliah, Erlin dan Ria nongkrong di kafe langganan mereka. Dengan tertawa lepas Ria terus membicarakan alasannya tidak datang di mata kuliah pertama. Tanpa disadari ternyata ada dosennya, yaitu Pak Fahmi yang dari tadi mendengarkan obrolan mereka.

"Oh, jadi begitu. Kamu cari-cari alasan biar gak datang kuliah?! it's okay. Kuliah itu tanggung jawabku sendiri, tapi membohongi dosen seperti ini juga akan mempengaruhi nilaimu. Pokonya kamu akan mendapat nilai jelek di matkul saya!" tegas Pak Fahmi meniggalkan kafe tersebut.

"Aduh! asyeem banget deh. Bisa-bisanya tuh dosen killer ada di sini," ucap Ria menepuk kepalanya. Harusnya ia lebih berhati-hati dalam berbicara di tempat umum.

"Drrrttt... drrrtt...." suara getaran ponsel menandakan ada panggilan masuk dari seseorang.

"Hallo," ucap Ria mengangkat panggilan tersebut.

"Ria! Ayah dan adik kamu kecelakaan sekarang ada di rumah sakit," ucap seseorang yang tak lain adalah tetangga Ria.

Ria dan Erlin bergegas ke rumah sakit untuk menengok keadaan mereka. Namun Ayah Ria dinyatakan meninggal dan adiknya mengalami luka-luka. Ria terus menyalahkan Adiknya karena kejadian tersebut ia harus kehilangan Ayahnya, kehilangan cinta pertama dalam hidupnya. 

"Semua ini gara-gara kamu! kamu yang buat Ayah meninggal! aku benci sama kamu!" bentak Ria kepada Robi.

Robi yang mendengar bentakan Ria, terus memukul-mukul kepalanya sambil meracau karena merasa bersalah. Ria yang putus asa berjalan gontai menuju rel kereta api yang tak jauh dari rumah sakit. Ria berdiri di tengah rel kereta api berniat untuk mengakhiri hidupnya.

Plang kereta api sudah ditutup, menandakan akan datangnya kereta. Tanpa menghiraukan teriakan orang-orang di sekitarnya, Ria masih saja berdiri di tengah rel tanpa berniat untuk menepi.

Fahmi yang juga akan melewati rel, tak sengaja melihat kejadian tersebut karena merasa mengenali sosok yang berada di tengah rel membuatnya terburu-buru berlari dan menarik Ria tubuh Ria ke tepi. 

"Lepaskan! lepaskan saya! hidup saya sudah tidak ada artinya lagi Pak, kenapa bapak selamatnya saya?!" bentak Ria yang sudah berderai air mata.

Melihat Ria yang putus asa membuat Fahmi terpikir, apa mahasiswinya ini berniat mengakhiri hidup karena ancamannya di kafe beberapa waktu lalu?

"Kamu sadar tidak atas tindakan yang kamu lakukan tadi? hal itu berbahaya, kamu bisa kehilangan nyawa," jelas Fahmi mencoba menyadarkan Ria.

"Memang itu tujuan saya, saya ingin menyusul Ayah saya. Tidak ada gunanya lagi saya hidup di dunia," jerit Ria sambil memukul-mukul tubuh Fahmi.

Dosen muda berusia dua puluh enam tahun tersebut segera menenangkan Ria dan memberinya air minum.

"Kamu tenang dulu, dengarkan saya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah titipan, kita tidak pernah tahu kapan pemiliknya akan mengambilnya kembali, selama kamu masih bisa bersama orang tersebut. Bahagiakan ia, tunaikan keinginannya dan doakan ia agar hidupnya tenang di alam sana," nasehat Fahmi mencoba menguatkan Ria.

Setelah kalang kabut mencari sahabatnya, akhirnya Erlin menemukan Ria juga, dan yang membuatnya heran, kenapa bisa sahabatnya yang amat sangat tidak menyukai Pak Fahmi itu tiba-tiba bisa berdua dengannya.

"Ra! kamu kemana saja? aku cariin kamu dari tadi. Aku sampai tinggalin Robi buat cariin kamu," seru Erlin menggenggam tangan Ria.

"Kamu? kamu sahabatnya kan?" tanya Pak Fahmi kepada Erlin.

"Iya Pak, bapak kenapa kok bisa di sini?" tanya Erlin ragu-ragu.

"Asal kamu tahu, sahabat kamu ini tadi hampir saja mengakhiri hidupnya," jawab Fahmi sambil menunjuk rel kereta api yang tak jauh dari tempat tersebut.

"Astaga Ria, kamu jangan berbuat nekat. Kamu masih punya aku sebagai sahabatmu, dan Robi masih butuh kamu sebagai kakaknya, apa kamu tega melihat Robi hidup sendiri dan terus menyalahkan dirinya karena kejadian ini?"

Ria yang tersadar akan semua nasehat dari Erlin dan Pak Fahmi segera kembali ke rumah sakit untuk menuggu kesembuhan adiknya. Setelah pemakaman Ayahnya, Ria menjadi gadis yang lebih rajin. Ia mengelola peternakan dengan baik, serius akan kuliahnya, berdamai dengan takdir dan cobaan yang telah menimpanya. Semakin hari Ria juga berusaha untuk memahami Robi dan menjadi kakak yang baik untuknya, dia yang awalnya tidak menyukai Pak Fahmi, sekarang juga mulai terlihat kedekatan di antara keduanya.


TAMAT.

Untuk kalian yang masih kuliah, kuliah yang benar ya friends. Ingat perjuangan orangtua dan niatkan sebagai ibadah, jangan terlalu dibawa stres. Kembangkan skill dan pengalaman sebanyak-banyaknya hormati dosen yang mengajar. Jika ada yang kurang srek dengan beliau doakan saja yang terbaik, atas kehendak sang pencipta ilmu itu juga akan mudah dipahami dan berkah. Menjadi apapun setelah lulus nanti semoga menjadi orang yang dapat membawa kebaikan untuk alam semesta.


Jika ada typo kritik dan saran tulis di kolom komentar dengan adab yang baik serta membangun ya friends!

Untuk membaca tulisan lainnya kalian dapat memantau sosial media Instagram dan tik tok  @faezyasharletta









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Guru Kehidupan

Halalkan Atau Tinggalkan

Konsep Rezeki